of 10
Current View
1
TINJAUAN YURIDIS TERHADAP WEWENANG BUPATI/
WALIKOTA DALAM MELAKUKAN KLARIFIKASI PERATURAN
DESA
1
Ni Putu Riyani Kartika Sari,
2
Ni Made Mutia Risna Dianthi,
3
I Wayan Didik Prayoga
1
Analis Permasalahan Hukum pada Bagian Hukum Setda Kota Denpasar,
2
Analis Peraturan Perundang-undangan dan Rancangan Peraturan
Perundang-undangan pada Bagian Hukum Setda Kota Denpasar,
3
Analis Rancangan Naskah Perjanjian pada
Bagian Hukum Setda Kota Denpasar
Email:
1
riyani.ks@gmail.com
2
Mutiarisnadianthi@gmail.com
3
didikprayoga87@gmail.com
Abstrak
Peraturan desa diartikan sebagai peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh Kepala
Desa setelah dibahas dan disepakati bersama Badan Permusyawaratan Desa. Kedudukannya
dalam sistem peraturan perundang-undangan diindonesia memperoleh legitimasi dalam Pasal
8 UU 12/2011. Kewenangan Bupati/Walikota dalam melakukan klarifikasi peraturan desa
merupakan merupakan bagian dari wewenang pembinaan dan pengawasan desa yang diberikan
oleh UU Desa. Secara teoritis, kewenangan tersebut merupakan bentuk
executive review
dalam
mewujudkan sinkronisasi peraturan perundang-undangan
Kata Kunci :
Kewenangan, Bupati/Walikota, Klarifikasi, Peraturan Desa
Abstract
Village regulations are defined as statutory regulations which regulated by the Village Head
after being discussed and agreed with the Village Consultative Body. It’s position in the system
of laws and regulations in Indonesia gains legitimacy in Article 8 of Law 12/2011. The authority
of the Regent/Mayor to clarify village regulations is part of the village guidance and supervision
authority granted by the Village Law. Theoretically, this authority is a form of executive review in
realizing the synchronization of laws and regulations
Key Words:
authority, Regent/Mayor, Clarify, Village Regulation
Vol. 17 No. 1 Mei 2023 : 1-10
ISSN : 1907 - 8188
2
ISSN : 1907 - 8188
I. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Pembangunan masyarakat dalam
bingkai Negara Kesatuan Republik
Indonesia tidak dapat dilepaskan dari
keberadaan desa sebagai institusi
terkecil dalam struktur negara. Secara
konstitusional eksistensi Desa di Indonesia
memperoleh pengakuan dan jaminan
dalam Pasal 18B ayat (2) Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 yang menyatakan bahwa Negara
mengakui dan menghormati kesatuan-
kesatuan masyarakat hukum adat beserta
hak-hak tradisionalnya sepanjang masih
hidup dan sesuai dengan perkembangan
masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan
Republik Indonesia, yang diatur dalam
undang-undang.
Undang-Undang Nomor 6 Tahun
2014 tentang Desa (selanjutnya disingkat
UU Desa) menegaskan pengakuan negara
sekaligus menjadi landasan keberadaan
dan penyelenggaraan pemerintahan
desa. Tujuan ditetapkan UU Desa
antara lain untuk mendorong prakarsa,
gerakan, dan partisipasi masyarakat
Desa untuk pengembangan potensi dan
aset desa guna kesejahteraan bersama,
membentuk Pemerintahan Desa yang
profesional, efisien dan efektif, terbuka,
serta bertanggung jawab, meningkatkan
pelayanan publik bagi warga masyarakat
Desa guna mempercepat perwujudan
kesejahteraan umum, memajukan
perekonomian masyarakat Desa serta
mengatasi kesenjangan pembangunan
nasional dan memperkuat masyarakat Desa
sebagai subjek pembangunan.
Pasal 1 angka 1 UU Desa
mengartikan “desa adalah kesatuan
masyarakat hukum yang memiliki batas
wilayah yang berwenang untuk mengatur
dan mengurus urusan pemerintahan,
kepentingan masyarakat setempat
berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal
usul, dan/atau hak tradisional yang diakui
1
Bambang Adhi Pamungkas, 2019, Pelaksanaan Otonomi Desa Pasca Undang-
Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa,
Jurnal USM Law Review
, Vol 2, No. 2, h.
214.
dan dihormati dalam sistem pemerintahan
Negara Kesatuan Republik Indonesia”.
Dengan definisi tersebut, UU Desa telah
menempatkan desa sebagai organisasi
campuran (hybrid) antara masyarakat
berpemerintahan (
self governing
community
) dengan pemerintahan
lokal (
local self government
). Dengan
begitu, sistem pemerintahan di desa
berbentuk pemerintahan masyarakat atau
pemerintahan berbasis masyarakat dengan
segala kewenangannya.
1
Dalam
pelaksanaan
kewenangannya, Desa diberikan
keleluasaan untuk membentuk regulasi
berupa peraturan desa. Secara normatif,
dalam tata ururan peraturan perundang-
undangan sebagaimana diatur dalam Pasal
7 ayat (1) Undang - Undang Nomor 12
Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang - undangan (selanjutnya
disingkat UU 12/2011), jenis dan hierarki
peraturan perundang-undangan terdiri atas:
a.
Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;
b.
Ketetapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat;
c.
Undang - Undang / Peraturan
Pemerintah d. Pengganti Undang-
Undang;
d.
Peraturan Pemerintah;
e.
Peraturan Presiden;
f.
Peraturan Daerah Provinsi; dan
g.
Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Apabila mencermati ketentuan pasal
tersebut, dalam tata urutan peraturan
perundang-undangan, tidak disebutkan
peraturan desa.
Pengaturan mengenai pembentukan
peraturan desa, disamping diatur dalam
UU Desa, juga diatur dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014
tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-
Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang
Desa (selanjutnya disingkat PP Desa) dan
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor
111 Tahun 2014 tentang Pedoman Teknis
Peraturan di Desa (selanjutnya disingkat
3
ISSN : 1907 - 8188
Permendagri 111/2014). Berdasarkan Pasal
1 angka 7 UU Desa, peraturan desa diartikan
sebagai peraturan perundang-undangan
yang ditetapkan oleh Kepala Desa setelah
dibahas dan disepakati bersama Badan
Permusyawaratan Desa. Apabila merujuk
pengertian tersebut, tegas disebutkan
bahwa peraturan desa merupakan peraturan
perundang-undangan. Namun Pasal 7
ayat (1) UU 12/2011 tidak menyebutkan
peraturan desa dalam jenis dan hierarki
peraturan perundang-undangan. Kondisi
ini seringkali menimbulkan pertanyaan
terkait kedudukan peraturan desa dalam
sistem peraturan perundang-undangan di
Indonesia.
Persoalan lainnya berkaitan dengan
pembentukan peraturan desa. Secara
umum terdapat 5 (lima) tahapan yang
wajib dilaksanakan dalam pembentukan
peraturan desa, yaitu tahap perencanaan,
penyusunan, pembahasan, penetapan dan
pengundangan. Disamping kelima tahapan
itu, juga terdapat tahapan yang disebut
klarifikasi yaitu tahapan pembinaan dan
pengawasan dari bupati/walikota terhadap
peraturan desa yang telah diundangkan
dalam berita desa. Berdasarkan Pasal 84
ayat (3) PP Desa, peraturan desa mulai
berlaku dan mempunyai kekuatan hukum
yang mengikat sejak diundangkan dalam
lembaran desa dan berita desa oleh
sekretaris desa.
Selanjutnya Pasal 84 ayat (4) PP Desa
menyatakan bahwa Peraturan Desa yang
telah diundangkan sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) disampaikan kepada bupati/
walikota sebagai bahan pembinaan dan
pengawasan paling lambat 7 (tujuh) hari
setelah diundangkan. Norma dalam Pasal 84
ayat (4) PP Desa tersebut juga mengandung
ambiguitas. Disatu sisi, peraturan desa
dinyatakan memiliki kekuatan hukum
mengikat sejak diundangkan. Namun
disisi lain, justru setelah pengundangan,
wajib dilakukan klarifikasi. Kondisi ini
2
Muhtadi, 2012, Penerapan Teori Hans Kelsen dalam Tertib Hukum Indonesia,
Fiat Justitia Jurnal Ilmu Hukum
, Vol. 5, No. 2, h. 239.
3
FX. Adji Samekto, 2019, Menelusuri Akar Pemikiran Hans Kelsen tentang
Stufenbeautheorie dalam Pendekatan Normatif-Filosofis,
Jurnal Hukum Progresif
, h. 2.
tentu menimbulkan keraguan mengenai
pemberlakuan peraturan desa tersebut
kepada masyarakat.
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang
diatas, maka dapat dirumuskan beberapa
permasalahan sebagai berikut:
a.
Bagaimana kedudukan peraturan desa
dalam sistem peraturan perundang-
undangan di Indonesia?
b.
Bagaimana ratio legis kewenangan
bupati/walikota dalam melakukan
klarifikasi terhadap peraturan desa?
3. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini
apabila beranjak dari rumusan masalah
diatas yaitu:
a.
Untuk mengetahui kedudukan
peraturan desa dalam sistem peraturan
perundang-undangan di Indonesia.
b.
Untuk mengetahui dasar kewenangan
bupati/walikota dalam melakukan
klarifikasi terhadap peraturan desa?
II. PEMBAHASAN
1. Landasan Teori
a.
Stufenbau
Theorie
(Teori
Penjenjangan Norma Hans Kelsen)
Gagasan
Stufenbautheorie
dari
Hans Kelsen dan dikembangkan oleh
Hans Nawasky dalam
theorie von
stufenfbau der rechtsordnung
, pada
hakikatnya menyatakan susunan
norma suatu negara berlapis-lapis
dan berjenjang dari yang tertinggi
ke terendah.
2
Disamping itu,
Stufenbautheorie juga menyatakan
harus terdapat sinkronisasi dan
keharmonisan antara peraturan
hukum yang diatas dengan peratura
dibawahnya.
3
Implementasi terhadap
Stufenbaoutheorie
Hans Kelsen secara
eksplisit dipositifkan dalam UU
4
ISSN : 1907 - 8188
12/2011. Pasal 7 ayat (1) UU 12/2011
mengatur bahwa jenis dan hierarki
Peraturan Perundang-undangan terdiri
atas:
h.
Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;
i. Ketetapan
Majelis
Permusyawaratan Rakyat;
j. Undang-Undang/Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-
Undang;
k.
Peraturan Pemerintah;
l.
Peraturan Presiden;
m.
Peraturan Daerah Provinsi; dan
n.
Peraturan Daerah Kabupaten/
Kota.
Selanjutnya Pasal 7 ayat (2) UU12/2011
menyatakan bahwa kekuatan hukum
Peraturan Perundang-undangan
sesuai dengan hierarki sebagaimana
dimaksud pada ayat (1). Penjelasan
Pasal 7 ayat (2) menegaskan bahwa
yang dimaksud dengan hierarki adalah
penjenjangan setiap jenis Peraturan
Perundang-undangan yang didasarkan
pada asas bahwa Peraturan Perundang-
undangan yang lebih rendah tidak
boleh bertentangan dengan Peraturan
Perundang-undangan yang lebih
tinggi.
b.
Teori Kewenangan
Kewenangan merupakan
implikasi dari hubungan hukum.
Dalam Black’s Law Dictionary,
kewenangan (
authority
) adalah
right
to exercise powers, to implement and
enforces laws, to exact obedience,
to command, to judge, control over,
jurisdiction
(hak untuk menjalankan
kekuasaan, untuk menerapkan dan
menegakan hukum, untuk kepatuhan
yang tepat, untuk memerintah,
4
Tedy Sudrajat, 2017,
Hukum Birokrasi Pemerintah : Kewenangan dan Jabatan
,
Sinar Grafika, Jakarta, h. 54.
5
Ibid
.
6
Ali Marwan HSB dan Evlyn Martha Julianthy, 2018, Pelaksanaan Kewenangan
Atribusi Pemerintahan Daerah Berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah,
Jurnal Legislasi Indonesia
Vol. 5, No. 2, h. 4.
untuk mengadili, mengontrol, dan
peradilan).
4
Dalam konteks hukum
administrasi, menurut Ateng
Syafrudin, kewenangan (
authority
,
gezag
) merujuk pada kekuasaan
formal, yaitu kekuasaan yang diberikan
oleh undang-undang, sedangkan
wewenang hanya mengenai bagian
tertentu dari kewenangan. Wewenang
merupakan lingkungan tindakan
hukum publik, tidak hanya membuat
keputusan pemerintah, tetapi juga
pelaksanaan tugas dan distribusi
wewenang.
5
Secara teoritis, kewenangan
yang bersumber dari peraturan
perundang-undangan diperoleh
melalui 3 (tiga) cara yaitu atribusi,
delegasi dan mandat. Ketiga sumber
kewenangan tersebut dijabarkan oleh
H.D. van Wjik sebagai berikut:
1.
Atribusi adalah pemberian wewenang
pemerintahan oleh pembentuk undang-
undang kepada organ pemerintahan;
2.
Delegasi adalah pelimpahan
wewenang pemerintahan dari satu
organ kepada organ pemerintahan
lainnya; dan
3.
Mandat terjadi ketika organ
pemerintahan mengizinkan
kewenangannya dijalankan oleh organ
lainnya atas namanya.
6
c.
Asas-Asas Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan
Perumusan mengenai Asas-Asas
Pembentukan Peraturan Perundang-
Undangan yang baik ditegaskan dalam
UU 12/2011 yang terbagi menjadi 2
(dua) bagian yaitu Asas Formil dan
Asas Materiil. Asas Formil merujuk
pada mekanisme pembentukan
peraturan perundang-undangan
5
ISSN : 1907 - 8188
sedangkan asas materiil merujuk pada
materi muatannya.
Pasal 5 UU 12/2011 menentukan
terdapat 7 (tujuh) asas pembentukan
peraturan perundang-undangan
yang baik, yaitu kejelasan tujuan,
kelembagaan atau pejabat pembentuk
yang tepat, kesesuaian antara jenis,
hierarki dan materi muatan, dapat
dilaksanakan, kedayagunaan dan
kehasilgunaan, kejelasan rumusan,
dan keterbukaan. Kemudian, Pasal
6 ayat (1) UU 12/2011 menentukan
materi muatan peraturan perundang-
undangan harus mencerminkan
asas : pengayoman, kemanusiaan,
kebangsaan, kekeluargaan,
kenusantaraan, bhinneka tunggal
ika, keadilan, kesamaan kedudukan
dalam hukum dan pemerintahan,
ketertiban dan kepastian hukum,
dan/atau keseimbangan, keserasian
dan keselarasan. Selain asas-asas
tersebut, dalam peraturan perundang-
undangan tertenu dapat berisi asas
lain sesuai dengan bidang hukum
peraturan perundang-undangan yang
bersangkutan.
2.
Hasil dan Pembahasan Permasalahan
a.
Kedudukan Peraturan Desa dalam
Sistem Peraturan Perundang-
undangan di Indonesia
Istilah peraturan perundang-
undangan menjadi frasa yang
seringkali disalahartikan dan
disamakan dengan undang-undang,
padahal keduanya memiliki makna
yang berbeda. Menurut Bagir Manan,
pengertian peraturan perundang-
undangan sebagai berikut:
1)
Setiap keputusan tertulis
yang dikeluarkan pejabat
atau lingkungan jabatan yang
berwenang berisi aturan tingkah
laku yang bersifat atau mengikat
7
Putera Asmanto, 2018, Kedudukan dan Pengujian Konstitusionalitas Peraturan
Desa dalam Peraturan Perundang-undangan
, Jurnal Konstitusi
, Vol. 15, No. 2, h. 285.
8
Satjipto Rahardjo, 1996 Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, h.83-84, dikutip dari
Ibid
, h. 286.
umum;
2)
Merupakan aturan-aturan tingkah
laku yang berisi ketentuan-
ketentuan mengenai hak,
kewajiban, fungsi, status atau
suatu tatanan;
3)
Merupakan peraturan yang
mempunyai ciri-ciri umum dan
abstrak yang berarti tidak mengatur
atau tidak ditujukan pada objek/
peristiwa/gejala konkret tertentu
7
Berkaitan dengan hal tersebut,
menurut Satjipto Rahardjo peraturan
perundang-undangan memiliki ciri-
ciri, sebagai berikut:
1)
Bersifat umum dan komprehensif
yang merupakan kebalikan dari
sifat-sifat khusus dan terbatas;
2)
Bersifat universal. Dibentuk
untuk menghadapi peristiwa-
peristiwa yang akan datang yang
belum jelas bentuk konkretnya.
Oleh karena itu, tidak dapat
dirumuskan untuk mengatasi
peristiwa-peristiwa tertentu saja;
3)
Lazimnya bagi suatu peraturan
perundang-undangan
mencantumkan klausul
yang memuat kemungkinan
dilakukannya peninjuan kembali.
8
Pasca lahirnya UU 12/2011 diskursus
mengenai pengertian peraturan
perundang-undangan tidak lagi
muncul mengingat Pasal 1 angka 1
UU 12/2011 telah mendefinisikan
sebagai berikut:
Peraturan Perundang-undangan
adalah peraturan tertulis yang
memuat norma hukum yang
mengikat secara umum dan
dibentuk atau ditetapkan oleh
lembaga negara atau pejabat
yang berwenang melalui prosedur
yang ditetapkan dalam Peraturan
Perundang-undangan.
6
ISSN : 1907 - 8188
Berdasarkan pengertian tersebut,
maka adapun unsur atau ciri-ciri dari
peraturan perundang-undangan, yaitu:
1)
Peraturan tertulis;
2)
Memuat norma yang mengikat
secara umum
3)
Dibentuk atau ditetapkan oleh
lembaga negara atau pejabat yang
berwenang
4)
Melalui prosedur yang ditetapkan
peraturan perundang-undangan.
Berkaitan dengan kedudukan
peraturan desa dalam sistem peraturan
perundang-undangan di Indonesia,
tidak dapat dilepaskan dari jenis
dan hierarki peraturan perundang-
undangan. Merujuk Pasal 7 ayat
(1) UU 12/2011, jenis dan hierarki
peraturan perundang-undangan, yaitu
a.
Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Ketetapan
Majelis
Permusyawaratan Rakyat;
c. Undang-Undang/Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-
Undang;
d.
Peraturan Pemerintah;
e.
Peraturan Presiden;
f.
Peraturan Daerah Provinsi; dan
g.
Peraturan Daerah Kabupaten/
Kota.
Apabila Pasal 7 ayat (1) ditelaah,
maka tidak disebutkan peraturan desa
termasuk dalam hierarki peraturan
perundang-undangan.
Ambiguitas kedudukan
peraturan desa dalam sistem peraturan
perundang-undangan di Indonesia
menemui benang merah dalam Pasal 8
UU 12/2011. Pasal a quo menyatakan
menentukan sebagai berikut “Jenis
Peraturan Perundang-undangan
selain sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup
peraturan yang ditetapkan oleh
Majelis Permusyawaratan Rakyat, ...,
Kepala Desa atau yang setingkat.”
Berdasarkan ketentuan Pasal 8 ayat
(1) UU 12/2011 dikaitkan dengan
pengertian peraturan desa dalam UU
Desa, PP Desa, dan Permendagri
111/2014, secara eksplisit menyatakan
peraturan desa adalah Peraturan
Perundang-undangan yang ditetapkan
oleh Kepala Desa setelah dibahas
dan disepakati bersama BPD, maka
dapat dipahami bahwa peraturan desa
merupakan bagian dari peraturan
perundang-undangan.
Kedudukan peraturan desa,
juga memenuhi unsur dan ciri sebagai
bagian dari peraturan perundang-
undangan sebagaimana diuraikan
diatas. Ciri dan unsur tersebut yakni
peraturan tertulis, yang memuat
norma bersifat umum, dibentuk atau
ditetapkan oleh lembaga negara
atau pejabat yang berwenang dalam
hal ini kepala desa bersama badan
permusyawaratan desa, dan melalui
prosedur yang ditetapkan dalam
peraturan perundang-undangan yaitu
PP Desa dan Permendagri 111/2014.
Lebih jauh berkaitan dengan
legitimasi peraturan desa sebagai
bagian dari sistem peraturan
perundang-undangan di Indonesia,
perlu mencermati Pasal 8 ayat (2)
UU 12/2011. Pasal
a quo
menyatakan
bahwa “peraturan Perundang-
undangan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diakui keberadaannya
dan mempunyai kekuatan hukum
mengikat sepanjang diperintahkan oleh
Peraturan Perundang-undangan yang
lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan
kewenangan”. Berdasarkan
penafisiran sistematis, kedudukan
peraturan desa memperoleh legitimasi
atas dasar 2 (dua) jenis kewenangan,
yaitu kewenangan atribusi dan
kewenangan delegasi.
Menurut A. Hamid Attamimi,
atribusi kewenangan pembentukan
peraturan perundang-undangan lahir
dari wewenang baru yang diberikan
oleh konstitusi/
grondwet
atau oleh
pembentuk undang-undang yang
kemudian diberikan kepada suatu
organ negara, baik yang sudah ada
7
ISSN : 1907 - 8188
maupun yang baru dibentuk untuk
itu.
9
Sementara itu, delegasi dalam
bidang perundang-undangan ialah
pemindahan/penyerahan kewenangan
untuk membentuk peraturan dari
pemegang kewenangan asal yang
mendelegasi (
delegans
) kepada yang
menerima delegasi (
delegataris
)
dengan tanggung jawab pelaksanaan
kewenangan tersebut pada delegataris
sendiri, sedangkan
delegans
memiliki
tanggungjawab yang terbatas.
10
Dalam konteks peraturan desa,
maka kewenangan atribusi berkaitan
dengan kewenangan berdasarkan hak
atas asal usul atau kewenangan lokal
berskala desa. Kedua kewenangan
tersebut beranjak dari asas rekognisi
dan asas subsidaritas dalam UU
Desa.
11
Sedangkan kewenangan
delegasi berdasarkan penugasan dari
pemerintah provinsi atau pemerintah
kabupaten/kota.
b.
Rasio Legis
Kewenangan Bupati/
Walikota dalam melakukan
klarifikasi terhadap Peraturan
Desa
Pembagian wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia secara
konstitusional diuraikan dalam Pasal
18 UUD NRI 1945 yang menyatakan
sebagai berikut:
“Negara Kesatuan Republik
Indonesia dibagi atas daerah-
daerah provinsi dan daerah
provinsi dibagi atas kabupaten
dan kota, yang tiap-tiap provinsi,
kabupaten, dan kota mempunyai
pemerintahan daerah yang diatur
dengan undang-undang.”
9
A. Hamid Attamimi, 1999,
Ilmu Perundang-Undangan
, Grafika, Bandung, h.
352.
10
Ibid
.
11
Berdasarkan penjelasan umum UU Desa, asas rekognisi yaitu pengakuan
terhadap hak asal usul, sedangkan asas subsidiaritas, yaitu penetapan kewenangan
berskala lokal dan pengambilan keputusan secara lokal untuk kepentingan masyarakat
Desa
Ketentuan tersebut menggambarkan
bahwa sejatinya Negara Indonesia
terdiri dari daerah Provinsi dan daerah
Provinsi kemudian dibagi lagi atas
kabupaten dan kota. Namun UUD
NRI 1945 tidak menggambarkan
lebih jauh, dalam kabupaten dan kota
sesungguhnya masih terdapat wilayah
yang disebut kecamatan dan desa.
Pembagian wilayah kabupaten
dan kota ternyata digambarkan dalam
Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2014 tentang Pemerintahan Daerah
(selanjutnya disingkat UU Pemda).
Pasal 2 UU Pemda menyatakan
sebagai berikut:
a.
Negara Kesatuan Republik
Indonesia dibagi atas Daerah
provinsi dan Daerah provinsi itu
dibagi atas Daerah kabupaten dan
kota.
b.
Daerah kabupaten/kota dibagi atas
Kecamatan dan Kecamatan dibagi
atas kelurahan dan/atau Desa.
Mengacu pada hal tersebut maka
dalam sistem Pemerintahan di Daerah
adanya pengakuan bagi Desa sebagai
suatu entitas yang merupakan bagian
dari Pemerintah Kabupaten/Kota,
yang diberikan kewenangan oleh
Undang-Undang untuk mengatur
dan menjalankan Pemerintahannya.
Salah satu wujud implementasi
penyelenggaraan pemerintahan desa
yakni penyusunan regulasi di tingkat
desa yang meliputi Peraturan Desa,
Peraturan Kepala Desa, dan Peratuarn
Bersama Kepala Desa.
Peraturan Desa sebagai salah
satu bentuk Peraturan Perundang-
undangan yang ada dalam sistem
hukum NKRI membawa implikasi
bahwa materi muatan yang diatur
8
ISSN : 1907 - 8188
didalamnya wajib memenuhi
ketentuan asas materi muatan
peraturan perundang-undangan antara
lain: pengayoman, kemanusiaan,
kebangsaan, kekeluargaan,
kenusantaraan, bhineka tunggal
ika, keadilan, kesamaan kedudukan
dalam hukum dan pemerintahan,
ketertiban dan kepastian hukum, dan/
atau keseimbangan, keserasian, dan
keselarasan. Disamping itu dalam
rangka pembentukan Peraturan Desa
juga wajib memperhatikan prinsip
pembentukan peraturan perundang-
undangan sebagaimana diatur dalam
Pasal 5 UU 12/2011 salah satunya
adalah kesesuaian antara jenis, hierarki
dan materi muatan serta kejelasan
rumusan.
Selain asas-asas yang dimuat
dalam ketentuan UU 12/2011 juga
terdapat prinsip dasar dalam peraturan
perundang-undangan yakni asas
preferensi yang meliputi:
a.
Lex superiori derogat legi inferiori
yang artinya aturan hukum
yang lebih tinggi meniadakan
keberlakuan aturan hukum yang
lebih rendah;
b.
Lex posterior derogat legi priori
yang artinya aturan hukum yang
baru meniadakan keberlakuan
aturan hukum yang lama; dan
c.
Lex specialist derogat legi generali
yang artinya aturan hukum yang
bersifat khusus meniadakan
keberlakuan aturan hukum yang
sifatnya umum.
12
Khusus bagi asas
lex superiori
derogate legi inferiori
implikasinya
adalah bahwa suatu peraturan
perundang-undangan/ aturan hukum
tidak boleh bertentangan dengan
aturan hukum yang secara hierarki
lebih tinggi.
Adanya ketentuan bahwa
suatu materi muatan peraturan
perundang-undangan tidak boleh
12
Nurfaqih Irfani, 2020, “Asas Lex Superior, Lex Specialis, dan Lex Posterior:
Pemaknaan, Problematika, dan Penggunaannya dalam Penalaran dan Argumentasi
Hukum,
Jurnal Legislasi Indonesia
, Vol. 16 No.3 September 2020, h. 311-313.
bertentangan dengan aturan yang lebih
tinggi hierarkinya mengakibatkan
perlu adanya upaya penyelarasan/
harmonisasi peraturan baik secara
vertikal maupun secara horizontal
dalam proses penyusunan peraturan
perundang-undangan. Berdasarkan
ketentuan dalam Pasal 112
jo
Pasal
115 Undang-Undang Nomor 6 Tahun
2014 tentang Desa, disebutkan bahwa
Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota
memiliki kewenangan untuk membina
dan mengawasi penyelenggaraan
Pemerintahan Desa. Adapun bentuk
pembinaan dan pengawasan yang
dilakukan khususnya berkaitan
dengan pembentukan peraturan di
tingkat desa sebagiamana disebutkan
dalam Pasal 115 huruf b dan e yakni:
b.
memberikan pedoman
penyusunan Peraturan Desa dan
Peraturan Kepala Desa; dan
e.
Melakukan evaluasi dan
pengawasan Peraturan Desa.
Sebagaimana disebutkan dalam
ketentuan Pasal 14 Permendagri
111/2014, Rancangan Peraturan Desa
tentnag APB Desa, pungutan, tata
ruang , dan organisasai Pemerintah
Desa yang telah dibahas dan
disepakati ooleh Kepala Desa dan
BPD disampaikan oleh Kepala Desa
kepada Bupati/Walikota melalui camat
atu sebutan lain paling lambat 3 (tiga)
hari sejak disepakati untuk dievaluasi.
Sedangkan ketentuan mengenai
klarifikasi terhadap Peraturan Desa
sebagaimana diatur dalam Pasal
19 Permendagri 111/2014 yang
menyatakan bahwa Peraturan Desa
yang telah diundangkan disampaikan
oleh Kepala Desa kepada Bupati/
Walikota paling lambat 7 (tujuh)
hari setelah diundangkan untuk
diklarifikasi. Adapun hasil daripada
klarifikasi dari bupati/walikota dapat
berupa:
9
ISSN : 1907 - 8188
a.
Surat Hasil Klaifikasi yang berisi
hasil klarifikasi telah sesuai dalam
hal peraturan Desa yang diajukan
klarifikasi sudah sesuai dengan
kepentingan umum dan/atau
ketentuan Peraturan Perundang-
Undangan yang lebih tinggi; dan
b. Keputusan
Bupati/Walikota
tentang Pembatalan Peraturan
Desa dalam hal peratuarn desa
tersebut bertentangan dengan
kepentingan umum dan/atau
peratuaran perundang-undangan
yang lebih tinggi.
Dalam rangka penyelarasan
produk hukum dalam sistem
ketatanegaraan di Indonesia dikenal
istilah pengujian peraturan perundang-
undangan. Dalam sistem hukum di
Indonesia terdapat kewenangan hak
uji peraturan perundang-undangan
yang terdelegasikan kepada 3 (tiga)
Lembaga yakni:
a.
Pengujian oleh Lembaga eksekutif
atau dikenal dengan istilah
executive review;
b.
Pengujian oleh Lembaga legislatif
atau dikenal dengan
legislative
review
; dan
c.
Pengujian oleh Lembaga yudikatif
atau dikenal dengan istilah
judicial
review.
13
Pemberian hak uji peraturan
perundang-undangan disesuaikan
dengan materi muatan peraturan
perundang-undanganny. Eksistensi
3 (tiga) Lembaga yang memiliki
kewenangan hak uji peraturan
perundang-undangan sebagai bentuk
terciptanya sistem
check and balances
dalam tata pemerintahan.
14
Sebagaimana telah diuraikan
diatas, bahwa Desa merupakan
bagian dari Pemerintahan Daerah
(Pemerintah Kabupaten/Kota) dimana
13
Jimly Assyidiqie, 2007,
Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca
Reformasi
, Jakarta: PT. Bhuana Ilmu Populer, h. 590.
14
Bagas Novantyo Wibowo dkk, 2021, “Kewenangan Executive Review oleh
Badan Pembinaan Hukum Nasional dalam Penataan Regulasi”
Diponegoro Law Journal,
Volume 10 Nomor 1, Tahun 2021, h. 71.
adanya kewenangan pengawasan
dan pembinaan yang dimiliki oleh
Pemerintah Kabupaten/Kota kepada
Pemerintahan Desa yang ada di
wilayahnya dalam rangka tertib
penyelenggaraan pemerintahan sesuai
dengan Asas-Asas Pemerintahan
yang baik. Mekanisme klarifikasi
suatu peraturan desa yang telah
diundangkan oleh Bupati/Walikota
merupakan implementasi konsep
executive review
ditingkat daerah.
Pelaksanaan klarifikasi tersebut
bertujuan untuk memastikan substansi
yang diatur dalam Peraturan Desa
telah sesuai dengan kepentingan
umum dan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang lebih
tinggi agar terciptanya materi muatan
peraturan desa yang selaras baik
secara horizontal maupun vertikal.
III.
PENUTUP
1. Kesimpulan
Berdasarkan seluruh uraian hasil dan
pembahasan permasalahan, maka dapat ditarik
kesimpulan sebagai berikut:
a.
Kedudukan peraturan desa dalam
sistem peraturan perundang-undangan
di Indonesia meskipun tidak termasuk
dalam hierarki peraturan perundang-
undangan, namun kedudukan diakui
sebagai peraturan perundang-undangan
sebagaimana ketentuan Pasal 8 UU
12/2011.
b
.
Rasio legis
kewenangan bupati/walikota
dalam melakukan klarifikasi merupakan
bagian dari wewenang pembinaan dan
pengawasan desa yang diberikan oleh
UU Desa. Secara teoritis kewenangan
melakukan klarifikasi terhadap peraturan
desa menjadi implementasi executive
review di daerah sebagai bentuk
check
and balances
dalam tata pemerintahan.
10
ISSN : 1907 - 8188
2. Saran
Berdasarkan rumusan kesimpulan
dan mengingat esensi dari kewenangan
bupati/walikota dalam melakukan
klarifikasi terhadap peraturan desa, maka
kiranya dalam pelaksanaannya dilakukan
secara cermat sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan. Kepada pemerintah
desa agar senantiasi memperhatikan proses
klarifikasi untuk mewujudkan sinkronisasi
vertikal peraturan perundang-undangan di
tingkat nasional maupun daerah.
Daftar Bacaan
A. Hamid Attamimi, 1999,
Ilmu Perundang-
Undangan
, Grafika, Bandung.
Ali Marwan HSB dan Evlyn Martha Julianthy,
2018, Pelaksanaan Kewenangan Atribusi
Pemerintahan Daerah Berdasarkan
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah,
Jurnal
Legislasi Indonesia
Vol. 5, No. 2.
Bagas Novantyo Wibowo dkk, 2021,
“Kewenangan Executive Review oleh
Badan Pembinaan Hukum Nasional
dalam Penataan Regulasi”
Diponegoro
Law Journal,
Volume 10 Nomor 1, Tahun
2021.
Bambang Adhi Pamungkas, 2019, Pelaksanaan
Otonomi Desa Pasca Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa,
Jurnal USM Law Review
, Vol 2, No. 2.
FX. Adji Samekto, 2019, Menelusuri
Akar Pemikiran Hans Kelsen tentang
Stufenbeautheorie dalam Pendekatan
Normatif-Filosofis,
Jurnal Hukum
Progresif
.
Jimly Assyidiqie, 2007,
Pokok-Pokok Hukum
Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi
,
Jakarta: PT. Bhuana Ilmu Populer.
Muhtadi, 2012, Penerapan Teori Hans Kelsen
dalam Tertib Hukum Indonesia,
Fiat
Justitia Jurnal Ilmu Hukum
, Vol. 5, No. 2.
Nurfaqih Irfani, 2020, “Asas Lex Superior, Lex
Specialis, dan Lex Posterior: Pemaknaan,
Problematika, dan Penggunaannya dalam
Penalaran dan Argumentasi Hukum,
Jurnal Legislasi Indonesia
, Vol. 16 No.3
September 2020.
Putera Asmanto, 2018, Kedudukan dan
Pengujian Konstitusionalitas Peraturan
Desa dalam Peraturan Perundang-
undangan
, Jurnal Konstitusi
, Vol. 15, No.
2.
Tedy Sudrajat, 2017,
Hukum Birokrasi
Pemerintah : Kewenangan dan Jabatan
,
Sinar Grafika, Jakarta.
Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang
Desa (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2014 Nomor 5495,
Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5495)
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2014
Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5587)
Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014
tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-
undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa
(Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2014 Nomor 113, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5539)
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 111
Tahun 2014 tentang Pedoman Teknis
Peraturan Di Desa (Berita Negara
Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor
2091)